SETIAP DAERAH WAJIB PUNYA RS TERAKREDITASI NASIONAL
Sumber : Kompas, Rabu, 02 September 2015
Pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden tentang kewajiban setiap kabupaten atau kota memiliki minimal satu rumah sakit berstatus akreditasi nasional. Hal itu untuk mendorong pencapaian standar pelayanan minimal bidang kesehatan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Chairul Rajab Nasution memaparkan hal itu, Selasa (1/9), di Jakarta, pada jumpa pers Pertemuan Ilmiah dan Semiloka Nasional Tahunan Akreditasi Rumah Sakit 2015.
Nantinya dalam Peraturan Presiden (Perpres) terkait standar pelayanan minimum, pemerintah pusat mewajibkan setiap kabupaten/kota memiliki setidaknya satu rumah sakit terakreditasi nasional. Pencapaian target itu jadi salah satu alat ukur tingkat keberhasilan kinerja bupati atau wali kota.
Peraturan itu akan memperkuat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (RS). Dalam aturan itu disebutkan, upaya peningkatan mutu pelayanan RS wajib dilakukan melalui akreditasi secara berkala minimal tiga tahun sekali. Akreditasi itu mencakup segala bentuk layanan tenaga medis bagi pasien dan fasilitas yang harus dipenuhi RS sesuai golongan.
Pemenuhan akreditasi dinilai perlu agar setiap sumber daya manusia di RS memiliki standar prosedur kinerja jelas. Pencapaian akreditasi jadi aspek pertimbangan pembuatan izin operasional RS.
Chairul mengakui, pencapaian status akreditasi tak mudah, perlu dana serta komitmen pemilik, pemimpin, dan pengelola RS agar kinerja pelayanan sesuai standar. Namun, itu perlu dilakukan demi memperbaiki layanan. "Sistem akreditasi itu akan ditularkan ke puskesmas dengan lembaga penilai berbeda," ungkapnya.
Ketua Eksekutif Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Sutoto optimistis seluruh RS di Indonesia bisa mencapai akreditasi nasional. Sebab, hampir di setiap wilayah ada RS yang terakreditasi, termasuk di Papua. Itu membuktikan setiap RS mampu mencapai akreditasi nasional jika ada komitmen.
Data KARS menunjukkan, dari 2.450 RS di Indonesia, baru 149 RS yang terakreditasi nasional. Adapun RS yang memiliki akreditasi internasional mencapai 22 RS. Kini, sekitar 200 RS mengajukan diri untuk disurvei.
Sebanyak 353 standar dengan 1.248 elemen dinilai surveior, mulai dari kinerja pelayanan, ketersediaan fasilitas, dan kemampuan petugas kesehatan memakai alat itu. Misalnya, penilaian pada kebiasaan petugas kesehatan mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Itu perlu diatur karena kasus infeksi akibat perpindahan kuman dari tangan petugas cukup tinggi. "Kini sistem penilaian langsung pada implementasi," ucapnya.
Terkait rendahnya angka RS terakreditasi nasional, Sutoto menjelaskan, itu karena ada perubahan standar akreditasi yang dilakukan sejak 2012. Adapun Indonesia mengacu pada standar internasional. Jadi, RS perlu mempersiapkan diri dengan memberi pelatihan kepada sumber daya manusia (SDM) dan memperbaiki fasilitas layanan sebelum diajukan untuk disurvei. "Harapannya hingga tujuh tahun ke depan, seluruh RS sudah terakreditasi nasional," katanya.
Salah satu RS terakreditasi nasional adalah RS Pusat Kesehatan Umat (PKU) Muhammadiyah Solo, Jawa Tengah. Untuk membenahi sistem dan kinerja layanan RS, Direktur Utama PKU Muhammadiyah Solo Mardiatmo menjelaskan, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 1,5 miliar, meliputi pembenahan fasilitas, pelatihan SDM, dan merekrut tenaga kerja baru.
Diambil dari: Mitrais - Seputar Medis Indonesia
« Kembali